Kantor Urusan Internasiona (KUI) atau jgua dikenal dengan Pusat Kerjasama Internasional LP2M UIN Salatiga berpartisipasi aktif dalam program webinar bertajuk “TAHAYYA: Studying and Living in Qatar” sukses digelar pada Jumat, 31 Oktober 2025 pukul 14.00 WIB melalui platform Zoom Meeting. Kegiatan ini menghadirkan Anggi Azzuhri, M.A., mahasiswa Islamic Studies di Hamad bin Khalifa University (HBKU), Qatar, sekaligus peneliti dan pelatih AI, sebagai pembicara utama. Moderator acara adalah Jihan Fakhira, M.Pd., mahasiswa pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab di UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Salatiga, (31/10/2025)

Acara dibuka dengan sesi interaktif, di mana Anggi mengajukan pertanyaan ringan terkait ibu kota Qatar. Sejumlah peserta membuktikan pengetahuan mereka dengan menjawab dengan benar. Selanjutnya, Anggi membagikan kisah perjalanan akademik dan kehidupannya di Qatar sejak tahun 2018. Ia menjelaskan bahwa banyak warga Indonesia di Qatar adalah pekerja migran yang telah lama menetap, sedangkan lingkungan pertamanya ketika tiba adalah para pekerja asal Bangladesh.
Anggi menegaskan bahwa meskipun banyak orang mengenal kota seperti Dubai, Qatar memiliki karakter sendiri yang baru banyak dikenal secara internasional sejak sekitar tahun 2022. Ia menyebut Qatar sebagai negara kecil dengan populasi sekitar 4 juta lebih, di mana sebagian besar adalah ekspatriat. “Saking sepinya, macet di sini cuma seputar parkir,” ujarnya sambil tersenyum. Ia juga menggambarkan kondisi Qatar yang sebagian besar wilayahnya berupa gurun ekstrem: musim panas bisa mencapai 55 °C, sedangkan musim dingin siang hari sekitar 25 °C dan malam hari bisa turun hingga 11 °C.
Mengenai keagamaan dan demografi, Anggi menyebut bahwa warga Qatar asli hanya sebagian kecil dari keseluruhan penduduk, sementara ekspatriat dari India, Pakistan, Afrika, dan negara lainnya mendominasi sektor pekerja dan mahasiswa. Berdasarkan data, sekitar 65,5% populasi Qatar beragama Islam, sedangkan sisanya terdiri dari penganut Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Ia menekankan bahwa meskipun Muslim mayoritas, lingkungan di Qatar sangat multinasional, dan bahasa pengantar akademik maupun kerja sehari-hari banyak menggunakan bahasa Inggris.
Dalam bidang pendidikan, Anggi menjelaskan peran Qatar Foundation (QF) yang mendirikan kawasan kampus bernama Education City di pinggiran kota Doha, yang kini menjadi rumah bagi sembilan universitas internasional dan universitas lokal seperti HBKU. HBKU sendiri berdiri pada tahun 2010 sebagai universitas riset intensif yang bertujuan meningkatkan kapasitas manusia di Qatar dan kawasan regional.
Anggi menceritakan bahwa niat awalnya pergi ke Qatar bukan untuk kuliah, melainkan untuk bekerja. Namun, jalur paling mudah untuk sampai ke Qatar bagi dirinya adalah melalui jalur pendidikan. Ia membagikan pengalaman kerasnya: pada hari pertama kuliah, ia diminta membaca buku setebal 150 halaman dalam semalam dan keesokan harinya mempresentasikannya secara rinci. Tekanan akademik ini membuat beberapa mahasiswa bahkan dipulangkan karena tidak mampu beradaptasi. Dari 21 mahasiswa di cohort Anggi, hanya tiga orang yang berhasil menyelesaikan studinya.
Pada sesi tanya-jawab, salah satu peserta, Sri Wahyuni, menanyakan: “Di sana materi dikirim satu hari sebelum mulai belajar, bukan lebih awal — memang sistemnya seperti itu?” Anggi menjawab: “Ya, memang mereka ingin kita siap dengan cepat. Namun jika kita membaca bahan jauh-jauh hari sebelumnya, itu sangat membantu karena semua bacaan sudah tercantum dalam kurikulum.”
Webinar ditutup dengan rekomendasi Anggi untuk mempertimbangkan HBKU dan Education City sebagai pilihan studi luar negeri bagi yang tertarik ke kawasan Timur Tengah. Ia mengingatkan bahwa kunci sukses adalah ketangguhan, kemampuan adaptasi, dan semangat dalam menghadapi lingkungan akademik yang sangat kompetitif. (Sf ed. MFL).
