SALATIGA-Pusat Studi Gender dan Anak Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Institut Agama Islam Negeri Salatiga menggelar Workshop Kurikulum Gender bertema Implementasi Kurikulum Responsif Gender di Ruang Rapat Utama Gedung Hasyim Asy’ari Kampus III IAIN Salatiga, Senin (25/11/2019). Menurut Ketua LP2M IAIN Salatiga, Dr. Irfan Hilmi, M.A. acara yang diikuti oleh dekan, wakil dekan, kepala dan sekretaris program studi, serta dosen di lingkungan IAIN tersebut adalah salah satu upaya untuk mempersiapkan akreditasi dan alih status IAIN Salatiga, “Pada tahun 2020 mendatang, kami akan menjalankan proses akreditasi dan mempersiapkan alih status menjadi universitas. Saya harap kegiatan ini bisa membantu dua agenda besar itu dan dapat memberi nilai tambah untuk IAIN Salatiga,” ujarnya.
Lebih lanjut Dr. Irfan berharap agar dengan diadakannya workshop tersebut para dosen dan pembuat kebijakan kurikulum di IAIN Salatiga dapat lebih memperhatikan hal-hal yang responsif gender supaya dapat dimasukkan ke dalam kurikulum. “Kurikulum yang responsif gender bisa jadi nilai tambah bagi institusi kita. Kita harus tahu bagaimana hal-hal yang responsif gender bisa masuk ke dalam kurikulum, harus tahu bagaimana program-program di PTKIN, dalam hal ini IAIN Salatiga bisa mendukung program-program pemerintah khususnya Komisi Nasional Perempuan.”
Komisioner Komnas Perempuan Republik Indonesia, Alimul Qibtiyah, Ph.D salah satu pemateri dalam acara itu menjelaskan bahwa dasar pembuatan kurikulum yang responsif gender adalah mengetahui apa saja kebutuhan praktis dan strategis peserta didik. Menurutnya kehadiran kurikulum responsif gender sangat diperlukan karena alasan-alasan seperti pengalaman (mahasiswa) perempuan dan laki-laki dapat berbeda terhadap masalah yang sama, kaum perempuan banyak mengalami ketidakadilan berkaitan dengan keberadaannya sebagai perempuan, dam kesadaran bahwa masalah dan keberadaan perempuan secara metodologis disembunyikan oleh para ilmuwan yang sebagian besar adalah laki-laki. “Peran gender dalam pembuatan kurikulum adalah sebagai perspektif. Fleksibilitas peran gender adalah kunci kebahagiaan, maka dari itu kurikulum responsif gender perlu diterapkan. Kritik yang bisa dilayangkan terhadap sistem pembelajaran konvensional adalah sistem itu melihat masalah dari kacamata laki-laki saja padahal seharusnya kita bisa lebih menguatkan nilai kesetaraan,” katanya.
Selanjutnya, Alimul menyampaikan strategi yang dapat dipakai untuk menciptakan kurikulum responsif gender, yaitu dengan menjadikan kajian gender sebagai mata kuliah tersendiri atau mengintegrasikan kajian gender dalam mata kuliah lain. Alimul juga mengajak peserta workshop lebih mengenali paradigma pedagogi feminis yang menguatkan nilai kesetaraan dan memiliki pemahaman pendidikan tanpa diskriminasi yang melihat guru dan murid sebagai objek bukan sebagai objek.
Narasumber lainnya, Dr. Mamat Supriatna, M.Pd dari UPI Bandung menambahkan bahwa perguruan tinggi yang berdaya saing adalah perguruan tinggi dengan kurikulum yang tajam. Maka dari itu kurikulum responsif gender juga harus dipertajam. “Satu yang harus diingat adalah kita harus mengubah cara pandang. Kurikulum responsif gender hanya dapat diterapkan jika pandangan kita luas dan global,” jelasnya.
Penulis : Lala
Editor : Ilman
Sumber : Pusat Studi Gender dan Anak IAIN Salatiga